BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Sikap adalah suatu perasaan manusia yang
bersifat menilai terhadap suatu hal seperti objek, orang, atau peristiwa yang
bisa saja hasil penilaian tersebut diwujudkan dengan tindakan atau kelakuan
(nyata) ataupun tidak diwujudkan sama sekali.
Etika (adat kebiasaan)
adalah sebuah pranata prilaku seseorang atau sekelompok orang, yang tersusun
dari suatu sistem nilai atau norma yang diambil dari gejala-gejala alamiah
masyarakat sekelompok tersebut.
Toleransi (menahan diri, bersikap sabar,membiarkan orang
berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki
pendapat berbeda), adalah sikap dan perbuatan yang melarang
adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang
berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat.
Manusia adalah makhluk bekeinginan yang tingkah
lakunya digerakkan oleh keinginan-keinginannya yang terpendam dialam bawah
sadarnya, tanggung jawab kepada Allah SWT,
dirinya sebagai hamba Allah, manusia dan masyarakat
serta alam sekitarnya.
Kehidupan beragama pada hakekatnya tidak hanya
berkutat pada substansi ajaran agama masing-masing. Tetapi yang lebih penting
adalah bagaimana substansi ajaran agama itu diimplementasikan dalam kehidupan
nyata dalam rangka menjawab tantangan zaman. Memenuhi kebutuhan dasar manusia
(fisik-biologis) dan juga bagian psikis seperti : kesejahteraan, rasa aman,
tentram dalam berinteraksi dengan umat beragama yang lain. Adapun
yang harus diterapkan dalam beragama yaitu, sikap, etika, dan toleransi.
1.2. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah
1.
Bagaimana sikap, etika, dan toleransi dalam
beragama?
1.3.
Tujuan
Mahasiswa mengetahui dan mampu bersikap, beretika,
dan toleransi beragama dalam kehidupan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sikap Beragama
Dalam mengaplikasikan sikap dalam beragama ada 3
jenis tipologi sikap beragama menurut Komarudin Hidayat yaitu :
1.
Eksklusivisme
Sikap eksklusivisme akan melahirkan pandangan ajaran yang paling benar
hanyalah agama yang dipeluknya, sedangkan agama lain sesat dan wajib dikikis,
atau pemeluknya dikonversi, sebab agama dan penganutnya terkutuk dalam
pandangan Tuhan. Sikap ini merupakan pandangan yang
dominan dari zaman ke zaman, dan terus dianut hingga dewasa ini. Tuntutan kebenaran yang dipeluknya mempunyai ikatan
langsung dengan tuntutan eksklusivitas. Artinya,kalau suatu pernyataan
dinyatakan, maka pernyataan lain yang berlawanan tidak bisa benar
Sikap menerima yang toleran akan adanya tataran-tataran yang berbeda,
sebaliknya, akan lebih mudah dicapai. Sementara, suatu pola payung atau
struktur formal dapat dengan mudah mencakup sistem-sistem pemikiran yang
berbeda.
2.
Inklusivisme
Sikap inklusivisme berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga
terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang dianutnya.
Di sini masih didapatkan toleransi teologis dan iman. Menurut Nurcholish
Madjid, sikap inklusif adalah yang memandang bahwa agama-agama lain adalah
bentuk implisit agama kita.
Sikap inklusivistik akan cenderung untuk menginterpretasikan kembali
hal-hal dengan cara sedemikian, sehingga hal-hal itu tidak saja cocok tetapi
juga dapat diterima. Sikap demikian akan membawa ke arah universalisme dari
ciri eksistensial atau formal daripada isi esensialnya. Suatu kebenaran
doktrinal hampir tidak dapat diterima sebagai yang universal jika ia sangat
berkeras mempertahankan isinya yang spesifik, karena penerapan isi selalu
mengandaikan perlunya suatu ‘forma mentis’ yang khusus. Sikap menerima
yang toleran akan adanya tataran-tataran yang berbeda, sebaliknya, akan lebih
mudah dicapai. Sementara, suatu pola payung atau struktur formal dapat dengan
mudah mencakup sistem-sistem pemikiran yang berbeda.
3.
Pluralisme Atau Paralelisme
Menurut Komarudin Hidayat, sikap pluralisme lebih moderat dari sikap
inklusivisme, atau bahkan dari eksklusivisme. Ia berpandangan bahwa secara
teologis pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas niscaya yang
masing-masing berdiri sejajar (paralel).
Di lingkungan Islam, tafsir Islam pluralis merupakan pengembangan secara
lebih liberal dari Islam inklusif. Misalnya, perbedaan antara Islam dan Kristen
(dan antaragama secara umum) diterima sebagai perbedaan dalam meletakkan
prioritas antara “perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Menurut para penganut
Islam pluralis (misalnya Schuon dan Hossein Nasr), setiap agama pada dasarnya
distruktur oleh dua hal: “perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Hanya saja,
setiap agama selalu menanggap yang satu mendahului yang kedua. Islam, misalnya,
mendahulukan “perumusan iman” (tauhid) dan “pengalaman iman” mengikuti
perumusan iman tersebut.
Sebaliknya agama Kristen, mendahulukan “pengalaman iman” (dalam hal ini
pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang
kemudian disimbolkan dalam sakramen misa dan ekaristi), dan “perumusan iman”
mengikuti pengalaman ini, dengan rumusan dogmatis mengenai trinitas. Perbedaan
dalam struktur perumusan dan pengalaman iman ini hanyalah
ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami Tuhan yang sama.
Sekalipun demikian, sikap paralelistis, pada sisi yang lain, menjanjikan
lebih banyak kemungkinan untuk suatu hipotesis kerja awal. Sikap ini
sekaligus membawa amanat akan pengharapan dan kesabaran; pengharapan
bahwa kita akan berjumpa pada akhirnya, dan kesabaran karena sementara
ini masih harus menanggung perbedaan-perbedaan kita.
4.
Eklektivisme
Eklektivisme adalah suatu sikap keberagamaan
yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang
dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama
menjadi semacam mosaik yang bersipat eklektik.
5.
Universalisme
Universalisme beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan
sama. Hanya saja, karena faktor historis-antropologis, agama lalu tampil dalam
format plural.
2.2. Etika Beragama
Nilai moral yang merupakan
nilai etika tersebut bersifat berubah-ubah sesuai dengan
persetujuan dari pada nilai-nilai dasar yang dipandang sebagai nilai alamiah
(universal), etika bersifat teoritis yang memandang perbuatan manusia.
Membangun etika kehidupan
beragama ada 5 aspek penting untuk pembangunan agama:
1.
Membangun kerukunan hidup antar umat beragama
2.
Peran serta umat beragama dan kehidupan social ekonomi
3.
Terpenuhinya sarana prasarana keagamaan
4.
Pendidikan agama
5.
Penerangan dakwah agama
Etika membangun kehidupan beragama
dimasyarakat :
1.
Dasar-dasar etika dapat dikembangkan dengan mengambil sifat-sifat utama
Rasulullah SAW, dalam mengembangkan ajaran islam ditanah Mekah dan Madinah
2.
Untuk landasan etika kehidupan kita
- Memegang amanah
dengan kuat
- Jujur
(Shidik)
- Tabligh
(Menyampikan dengan transparan)
- Fathonah
(Cerdas dan Intelek)
Memelihara Etika Manusia Berlandaskan
Kaidah Agama
Manusia tanpa etika seringkali memiliki kelakuan
yang abnormal yang sering kita sebut gangguan mental. fungsi mental dan berpengaruhnya
pada ketidak wajaran dalam berperilaku ini sesuai
dengan Al-Quran (Surah al-Baqoroh 2:10)
فِيقُلُوبِهِمْمَرَضٌفَزَادَهُمُاللَّهُمَرَضًاوَلَهُمْعَذَابٌأَلِيمٌبِمَاكَانُوايَكْذِبُونَ
Artinya, “Dalam hati mereka ada penyakit lalu
ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka
berdusta. Yakni keyakinan mereka terdahap kebenaran nabi Muhammad s.a.w. lemah.
Kelemahan keyakinan itu, menimbulkan kedengkian, iri-hati dan dendam terhadap
nabi s.a.w., agama dan orang-orang Islam”.
Banyak di antara kita selaku umat beragama, tidak
sadar akan keberagamaan kita, keberagamaan secara etika sosial. kebanyakan
ummat beragama hanya mendalami tentang korelasi transendental dengan Tuhannya,
ataupun segala sesuaatu tentang agama yang sifatnya "Eksklusif",
sehingga praktek beragama atau keberagamaan seseorang akan terlihat ketika dia
beribadah saja, atau ketika seorang beragama tersebut berdakwah, atau ketika
membela agamanya di ranah publik.
Praktek beragama seperti itu bukanlah inti atau
esensi dari keberagamaan yang sesungguhnya, karena esensi agama adalah hubungan
sosial, kemanusiaan, dan perdamaian, yang perwujudannya adalah saling
menghormati dan menerima keberadaan golongan lain bahkan agama lain sekalipun,
tanpa adanya rasa curiga atau perlawanan terhadap agama atau keyakinan yang
lain. Hal ini diaplikasikan oleh faham pluralisme, yang menerima semua
keyakinan beragama.
2.3. Toleransi Beragama
Toleran maknanya adalah bersifat atau bersikap
menghargai, membiarkan pendirian, pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan,
kelakuan, dan lain-lain yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian
sendiri. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam
suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya.
Dalam beragama pengakuan adanya kekuatan Yang Maha
Tinggi, yaitu Allah, Tuhan, God, Yahweh, Elohim, yang disertai ketundukan itu,
merupakan fitrah (naluri) yang dimiliki oleh setiap manusia. Kendati demikian,
manusia tetap memerlukan adanya pemberi peringatan agar tidak menyeleweng dari
fitrahnya, mereka adalah para nabi dan rasul.
Perasaan tunduk kepada Yang Maha Tinggi, yang
disebut iman atau itikad, yang kemudian berdampak pada adanya rasa suka, takut,
hormat, dan lain-lain, itulah unsur dasar agama. Agama adalah tata-cara hidup
manusia yang dipercayai bersumber dari Yang Maha Kuasa untuk kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.
Berbagai agama telah lahir di dunia ini dan
membentuk suatu syariat (aturan) yang mengatur kehidupan manusia, yang tertera
di dalam kitab-kitab suci, baik agama samawi (yang bersumber dari wahyu Ilahi)
maupun yang terdapat dalam agama ardli (budaya) yang bersumber dari pemikiran
manusia. Semua agama, memiliki fungsi dalam kehidupan manusia. Berbagai fungsi
tersebut adalah :
a)
Menunjukkan manusia kepada kebenaran sejati;
b)
Menunjukkan manusia kepada kebahagiaan hakiki; dan
c)
Mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bersama.
Dari hakikat dan fungsi agama seperti yang
disebutkan itu, maka pemeluk agama telah memiliki strategi, metoda dan teknik
pelaksanaannya masing-masing, yang mengakibatkan boleh terjadinya perbedaan
antara yang satu dengan yang lain. Karenanya, umat manusia dalam menjalankan
agamanya tidak boleh sampai terjadi perpecahan yang akhirnya akan merugikan
diri mereka sendiri dan agama yang mereka percayai. Untuk menghindari
terjadinya perpecahan dan supaya kita dapat berperilaku toleran, ada beberapa
upaya yang dapat dilakukan.
1.
Kembali kepada Fitrah Beragama
Dalam kesempatan ini, kami mengajak pembaca untuk
fitrah beragama, yaitu toleransi yang harus ditegakkan sebagai keyakinan pokok
(akidah) dalam beragama.
Toleransi/toleran dalam pengertian seperti itu
terkadang menjadi sesuatu yang sangat berat bagi pribadi yang belum terbiasa
dan belum menyadarinya. Padahal perkara tersebut bukan mengakibatkan kerugian
pribadi, bahkan sebaliknya akan membawa makna besar dalam kehidupan bersama
dalam segala bidang. Toleran dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya,
dengan eksisnya berbagai agama dalam kehidupan umat manusia ini.
Dalam kaitan ini Allah telah mengingatkan kepada
umat manusia yang terkandung dalam Q.S. Al-Imran (103) “Dan berpegang teguhlah
kamu kepada agama Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.”
Pesan ini merupakan pesan kepada segenap umat
manusia tidak terkecuali, yang intinya dalam menjalankan agama harus menjauhi
perpecahan antarumat beragama maupun sesama umat beragama. Pesan dari langit
ini menghendaki umat manusia itu memeluk dan menegakkan agama, karena Tuhan
sang Pencipta alam semesta ini telah menciptakan agama-agama untuk umat
manusia. Tegakkanlah agama dan jangan berpecah belah dalam beragama,
merupakan dasar perilaku umat manusia dalam
beragama.
2.
Toleransi sebagai Nilai dan Norma
Toleransi dalam pengertian yang telah disampaikan
merupakan keyakinan pokok dalam beragama, hal itu dapat kita jadikan sebagai
nilai dan norma. Kita katakan sebagai nilai karena toleransi merupakan gambaran
mengenai apa yang kita inginkan, yang pantas, yang berharga, yang dapat
mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang memiliki nilai itu.
Demikian juga toleransi, dapat kita jadikan suatu
norma, yaitu suatu patokan perilaku dalam suatu kelompok tertentu. Norma
memungkinkan seseorang menentukan terlebih dahulu bagaimana tindakannya itu
akan dinilai orang lain untuk mendukung atau menolak perilaku seseorang.
Karena toleransi sudah kita jadikan nilai dan
norma, dan juga menyangkut sifat dan sikap untuk menghargai pendirian,
pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan kelakuan, dan lain-lain yang
berbeda bahkan bertentangan dengan pendirian sendiri, maka sifat dan sikap
sebagai nilai dan norma itu mesti disosialisasikan. Sifat dan sikap toleran ini
perlu disosialisasikan, agar setiap individu mampu mengamalkan dalam kehidupan
nyata di masyarakat luas. Dalam lingkungan keluarga, kehidupan yang toleran
harus disosialisasikan sejak dini terhadap anggota keluarga.
3.
Toleran dan Prinsip Hidup
Berinteraksi dengan jiwa toleran dalam setiap
bentuk aktivitas, tidak harus membuang prinsip hidup beragama yang kita yakini.
Kehidupan yang toleran justru akan menguatkan prinsip hidup keagamaan yang kita
yakini. Segalanya menjadi jelas dan tegas tatkala kita meletakkan sikap
mengerti dan memahami terhadap apapun yang nyata berbeda dengan prinsip yang
kita yakini. Kita bebas dengan keyakinan kita, sedangkan pihak yang berbeda
(yang memusuhi sekalipun) kita bebaskan terhadap sikap dan keyakinannya.
Dialog disertai deklarasi tegas dan sikap toleran
telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam Q.S. 109: “Wahai orang yang berbeda
prinsip (yang menentang). Aku tidak akan mengabdi kepada apa yang menjadi
pengabdianmu. Dan kamu juga tidak harus mengabdi kepada apa yang menjadi
pengabdianku. Dan sekali-kali aku tidak akan menjadi pengabdi pengabdianmu.
Juga kamu tidak mungkin mengabdi di pengabdianku. Agamamu untukmu. Dan agamaku
untukku.”
Prinsip yang telah dibela oleh Rasulullah sangat
jelas, dengan sentuhan deklarasi yang tegas. Sedangkan prinsip yang harus
dipegang oleh mereka yang berbeda juga dijelaskan dengan tegas. Namun diiringi
dengan sikap toleransi yang sangat tinggi (Kamu pada prinsipmu dan aku pada
prinsipku). Yakni sepakat untuk berbeda. Sikap toleran, mampu menemukan jalan
keluar dan problem solving yang pantas dan mengangkat martabat dan harga diri
dalam berbagai bidang kehidupan.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
1. Sikap
dalam beragama begitu penting untuk menentukan akan bagaimana perilaku kita dalam masyarakat, khususnya dalam bidang beragama.
Akan bersikap eksklusivisme, inklusivisme, pluralisme/paralelisme,
eklektivisme, atau universalisme. Semua itu tergantung kepada pribadi kita
masing-masing.
2. Etika dalam
beragama perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari karena dengan menerapkan
hal tersebut maka nilai dan kualitas kita dalam beragama akan menjadi lebih
baik.
3. Toleransi
dalam beragama merupakan landasan utama untuk menjaga keharmonisan antar umat beragama
supaya tidak terjadi perpecahan antar pemeluk agama (seperti apa yang sudah di
jelaskan dalam Al-Qur’an yaitu Q.S. Al-Imran: 103)
3.2. Saran
Penerapan teori sikap,
etika, dan toleransi beragama harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mengingat betapa pentingnya tiga
hal tersebut dalam kehidupan beragama yang mempunyai manfaat untuk menjaga
perdamaian umat beragama.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menciptakan pemilihihan
kepemimpinan yang baik,dan semoga makalah ini memberikan dorongan, semangat,
bahkan pemikiran para pembaca, dengan makalah ini menjadi pedoman kaidah yang
baik.
Demikianlah penjelasan tentang
teori sikap, etika, dan toleransi beragama bila kiranya ada salah dalam
penulisan kata-kata kami mohon maaf, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar