Jumat, 24 Januari 2014

sikap dan etika dalam beragama



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Sikap adalah suatu perasaan manusia yang bersifat menilai terhadap suatu hal seperti objek, orang, atau peristiwa yang bisa saja hasil penilaian tersebut diwujudkan dengan tindakan atau kelakuan (nyata) ataupun tidak diwujudkan sama sekali.
Etika (adat kebiasaan) adalah sebuah pranata prilaku seseorang atau sekelompok orang, yang tersusun dari suatu sistem nilai atau norma yang diambil dari gejala-gejala alamiah masyarakat sekelompok tersebut.
Toleransi (menahan diri, bersikap sabar,membiarkan orang berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki pendapat berbeda), adalah sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat.
Manusia adalah makhluk bekeinginan yang tingkah lakunya digerakkan oleh keinginan-keinginannya yang terpendam dialam bawah sadarnya, tanggung jawab kepada Allah SWT, dirinya sebagai hamba Allah, manusia dan masyarakat serta alam sekitarnya.
Kehidupan beragama pada hakekatnya tidak hanya berkutat pada substansi ajaran agama masing-masing. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana substansi ajaran agama itu diimplementasikan dalam kehidupan nyata dalam rangka menjawab tantangan zaman. Memenuhi kebutuhan dasar manusia (fisik-biologis) dan juga bagian psikis seperti : kesejahteraan, rasa aman, tentram dalam berinteraksi dengan umat beragama yang lain. Adapun yang harus diterapkan dalam beragama yaitu, sikap, etika, dan toleransi.


1.2. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah
1.      Bagaimana sikap, etika, dan toleransi dalam beragama?



1.3. Tujuan                                       
Mahasiswa mengetahui dan mampu bersikap, beretika, dan toleransi beragama dalam kehidupan.




























BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sikap Beragama
Dalam mengaplikasikan sikap dalam beragama ada 3 jenis tipologi sikap beragama menurut Komarudin Hidayat yaitu :
1.      Eksklusivisme                       
Sikap eksklusivisme akan melahirkan pandangan ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya, sedangkan agama lain sesat dan wajib dikikis, atau pemeluknya dikonversi, sebab agama dan penganutnya terkutuk dalam pandangan Tuhan. Sikap ini merupakan pandangan yang dominan dari zaman ke zaman, dan terus dianut hingga dewasa ini. Tuntutan kebenaran yang dipeluknya mempunyai ikatan langsung dengan tuntutan eksklusivitas. Artinya,kalau suatu pernyataan dinyatakan, maka pernyataan lain yang berlawanan tidak bisa benar
Sikap menerima yang toleran akan adanya tataran-tataran yang berbeda, sebaliknya, akan lebih mudah dicapai. Sementara, suatu pola payung atau struktur formal dapat dengan mudah mencakup sistem-sistem pemikiran yang berbeda.
2.      Inklusivisme
Sikap inklusivisme berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang dianutnya. Di sini masih didapatkan toleransi teologis dan iman. Menurut Nurcholish Madjid, sikap inklusif adalah yang memandang bahwa agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita.
Sikap inklusivistik akan cenderung untuk menginterpretasikan kembali hal-hal dengan cara sedemikian, sehingga hal-hal itu tidak saja cocok tetapi juga dapat diterima. Sikap demikian akan membawa ke arah universalisme dari ciri eksistensial atau formal daripada isi esensialnya. Suatu kebenaran doktrinal hampir tidak dapat diterima sebagai yang universal jika ia sangat berkeras mempertahankan isinya yang spesifik, karena penerapan isi selalu mengandaikan perlunya suatu ‘forma mentis’ yang khusus. Sikap menerima yang toleran akan adanya tataran-tataran yang berbeda, sebaliknya, akan lebih mudah dicapai. Sementara, suatu pola payung atau struktur formal dapat dengan mudah mencakup sistem-sistem pemikiran yang berbeda.

3.      Pluralisme Atau Paralelisme
Menurut Komarudin Hidayat, sikap pluralisme lebih moderat dari sikap inklusivisme, atau bahkan dari eksklusivisme. Ia berpandangan bahwa  secara teologis pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar (paralel).
Di lingkungan Islam, tafsir Islam pluralis merupakan pengembangan secara lebih liberal dari Islam inklusif. Misalnya, perbedaan antara Islam dan Kristen (dan antaragama secara umum) diterima sebagai perbedaan dalam meletakkan prioritas antara “perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Menurut para penganut Islam pluralis (misalnya Schuon dan Hossein Nasr), setiap agama pada dasarnya distruktur oleh dua hal: “perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Hanya saja, setiap agama selalu menanggap yang satu mendahului yang kedua. Islam, misalnya, mendahulukan “perumusan iman” (tauhid) dan “pengalaman iman” mengikuti perumusan iman tersebut.
Sebaliknya agama Kristen, mendahulukan “pengalaman iman” (dalam hal ini pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan dalam sakramen misa dan ekaristi), dan “perumusan iman” mengikuti pengalaman ini, dengan rumusan dogmatis mengenai trinitas. Perbedaan dalam struktur perumusan dan pengalaman iman ini hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami Tuhan yang sama.
Sekalipun demikian, sikap paralelistis, pada sisi yang lain, menjanjikan lebih banyak kemungkinan untuk suatu hipotesis kerja awal. Sikap ini sekaligus  membawa amanat akan pengharapan dan kesabaran; pengharapan bahwa kita akan berjumpa pada akhirnya, dan kesabaran karena sementara ini masih harus menanggung perbedaan-perbedaan kita.
4.      Eklektivisme
Eklektivisme adalah suatu sikap keberagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mosaik yang bersipat eklektik.

5.      Universalisme
Universalisme beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama. Hanya saja, karena faktor historis-antropologis, agama lalu tampil dalam format plural.

2.2. Etika Beragama
Nilai moral yang merupakan nilai etika tersebut bersifat berubah-ubah sesuai dengan persetujuan dari pada nilai-nilai dasar yang dipandang sebagai nilai alamiah (universal), etika bersifat teoritis yang memandang perbuatan manusia.
Membangun etika kehidupan beragama ada 5 aspek penting untuk pembangunan agama:
1.      Membangun kerukunan hidup antar umat beragama
2.      Peran serta umat beragama dan kehidupan social ekonomi
3.      Terpenuhinya sarana prasarana keagamaan
4.      Pendidikan agama
5.      Penerangan dakwah agama

Etika membangun kehidupan beragama dimasyarakat :
1.      Dasar-dasar etika dapat dikembangkan dengan mengambil sifat-sifat utama Rasulullah SAW, dalam mengembangkan ajaran islam ditanah Mekah dan Madinah
2.      Untuk landasan etika kehidupan kita
-  Memegang amanah dengan kuat
-  Jujur (Shidik)
-  Tabligh (Menyampikan dengan transparan)
Fathonah (Cerdas dan Intelek)

Memelihara Etika Manusia Berlandaskan Kaidah Agama
Manusia tanpa etika seringkali memiliki kelakuan yang abnormal yang sering kita sebut gangguan mental. fungsi mental dan berpengaruhnya pada ketidak wajaran dalam berperilaku ini sesuai dengan Al-Quran (Surah al-Baqoroh 2:10)

                                   
فِيقُلُوبِهِمْمَرَضٌفَزَادَهُمُاللَّهُمَرَضًاوَلَهُمْعَذَابٌأَلِيمٌبِمَاكَانُوايَكْذِبُونَ
Artinya, “Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Yakni keyakinan mereka terdahap kebenaran nabi Muhammad s.a.w. lemah. Kelemahan keyakinan itu, menimbulkan kedengkian, iri-hati dan dendam terhadap nabi s.a.w., agama dan orang-orang Islam”.
Banyak di antara kita selaku umat beragama, tidak sadar akan keberagamaan kita, keberagamaan secara etika sosial. kebanyakan ummat beragama hanya mendalami tentang korelasi transendental dengan Tuhannya, ataupun segala sesuaatu tentang agama yang sifatnya "Eksklusif", sehingga praktek beragama atau keberagamaan seseorang akan terlihat ketika dia beribadah saja, atau ketika seorang beragama tersebut berdakwah, atau ketika membela agamanya di ranah publik.
Praktek beragama seperti itu bukanlah inti atau esensi dari keberagamaan yang sesungguhnya, karena esensi agama adalah hubungan sosial, kemanusiaan, dan perdamaian, yang perwujudannya adalah saling menghormati dan menerima keberadaan golongan lain bahkan agama lain sekalipun, tanpa adanya rasa curiga atau perlawanan terhadap agama atau keyakinan yang lain. Hal ini diaplikasikan oleh faham pluralisme, yang menerima semua keyakinan beragama.

2.3. Toleransi Beragama
Toleran maknanya adalah bersifat atau bersikap menghargai, membiarkan pendirian, pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan lain-lain yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya.
Dalam beragama pengakuan adanya kekuatan Yang Maha Tinggi, yaitu Allah, Tuhan, God, Yahweh, Elohim, yang disertai ketundukan itu, merupakan fitrah (naluri) yang dimiliki oleh setiap manusia. Kendati demikian, manusia tetap memerlukan adanya pemberi peringatan agar tidak menyeleweng dari fitrahnya, mereka adalah para nabi dan rasul.
Perasaan tunduk kepada Yang Maha Tinggi, yang disebut iman atau itikad, yang kemudian berdampak pada adanya rasa suka, takut, hormat, dan lain-lain, itulah unsur dasar agama. Agama adalah tata-cara hidup manusia yang dipercayai bersumber dari Yang Maha Kuasa untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Berbagai agama telah lahir di dunia ini dan membentuk suatu syariat (aturan) yang mengatur kehidupan manusia, yang tertera di dalam kitab-kitab suci, baik agama samawi (yang bersumber dari wahyu Ilahi) maupun yang terdapat dalam agama ardli (budaya) yang bersumber dari pemikiran manusia. Semua agama, memiliki fungsi dalam kehidupan manusia. Berbagai fungsi tersebut adalah :
a)      Menunjukkan manusia kepada kebenaran sejati;
b)      Menunjukkan manusia kepada kebahagiaan hakiki; dan
c)      Mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bersama.
Dari hakikat dan fungsi agama seperti yang disebutkan itu, maka pemeluk agama telah memiliki strategi, metoda dan teknik pelaksanaannya masing-masing, yang mengakibatkan boleh terjadinya perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Karenanya, umat manusia dalam menjalankan agamanya tidak boleh sampai terjadi perpecahan yang akhirnya akan merugikan diri mereka sendiri dan agama yang mereka percayai. Untuk menghindari terjadinya perpecahan dan supaya kita dapat berperilaku toleran, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan.
           
1.      Kembali kepada Fitrah Beragama
Dalam kesempatan ini, kami mengajak pembaca untuk fitrah beragama, yaitu toleransi yang harus ditegakkan sebagai keyakinan pokok (akidah) dalam beragama.
Toleransi/toleran dalam pengertian seperti itu terkadang menjadi sesuatu yang sangat berat bagi pribadi yang belum terbiasa dan belum menyadarinya. Padahal perkara tersebut bukan mengakibatkan kerugian pribadi, bahkan sebaliknya akan membawa makna besar dalam kehidupan bersama dalam segala bidang. Toleran dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya, dengan eksisnya berbagai agama dalam kehidupan umat manusia ini.
Dalam kaitan ini Allah telah mengingatkan kepada umat manusia yang terkandung dalam Q.S. Al-Imran (103) “Dan berpegang teguhlah kamu kepada agama Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.”
Pesan ini merupakan pesan kepada segenap umat manusia tidak terkecuali, yang intinya dalam menjalankan agama harus menjauhi perpecahan antarumat beragama maupun sesama umat beragama. Pesan dari langit ini menghendaki umat manusia itu memeluk dan menegakkan agama, karena Tuhan sang Pencipta alam semesta ini telah menciptakan agama-agama untuk umat manusia. Tegakkanlah agama dan jangan berpecah belah dalam beragama, merupakan  dasar perilaku umat manusia dalam beragama.

2.      Toleransi sebagai Nilai dan Norma
Toleransi dalam pengertian yang telah disampaikan merupakan keyakinan pokok dalam beragama, hal itu dapat kita jadikan sebagai nilai dan norma. Kita katakan sebagai nilai karena toleransi merupakan gambaran mengenai apa yang kita inginkan, yang pantas, yang berharga, yang dapat mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang memiliki nilai itu.
Demikian juga toleransi, dapat kita jadikan suatu norma, yaitu suatu patokan perilaku dalam suatu kelompok tertentu. Norma memungkinkan seseorang menentukan terlebih dahulu bagaimana tindakannya itu akan dinilai orang lain untuk mendukung atau menolak perilaku seseorang.
Karena toleransi sudah kita jadikan nilai dan norma, dan juga menyangkut sifat dan sikap untuk menghargai pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan kelakuan, dan lain-lain yang berbeda bahkan bertentangan dengan pendirian sendiri, maka sifat dan sikap sebagai nilai dan norma itu mesti disosialisasikan. Sifat dan sikap toleran ini perlu disosialisasikan, agar setiap individu mampu mengamalkan dalam kehidupan nyata di masyarakat luas. Dalam lingkungan keluarga, kehidupan yang toleran harus disosialisasikan sejak dini terhadap anggota keluarga.

3.      Toleran dan Prinsip Hidup
Berinteraksi dengan jiwa toleran dalam setiap bentuk aktivitas, tidak harus membuang prinsip hidup beragama yang kita yakini. Kehidupan yang toleran justru akan menguatkan prinsip hidup keagamaan yang kita yakini. Segalanya menjadi jelas dan tegas tatkala kita meletakkan sikap mengerti dan memahami terhadap apapun yang nyata berbeda dengan prinsip yang kita yakini. Kita bebas dengan keyakinan kita, sedangkan pihak yang berbeda (yang memusuhi sekalipun) kita bebaskan terhadap sikap dan keyakinannya.
Dialog disertai deklarasi tegas dan sikap toleran telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam Q.S. 109: “Wahai orang yang berbeda prinsip (yang menentang). Aku tidak akan mengabdi kepada apa yang menjadi pengabdianmu. Dan kamu juga tidak harus mengabdi kepada apa yang menjadi pengabdianku. Dan sekali-kali aku tidak akan menjadi pengabdi pengabdianmu. Juga kamu tidak mungkin mengabdi di pengabdianku. Agamamu untukmu. Dan agamaku untukku.”
Prinsip yang telah dibela oleh Rasulullah sangat jelas, dengan sentuhan deklarasi yang tegas. Sedangkan prinsip yang harus dipegang oleh mereka yang berbeda juga dijelaskan dengan tegas. Namun diiringi dengan sikap toleransi yang sangat tinggi (Kamu pada prinsipmu dan aku pada prinsipku). Yakni sepakat untuk berbeda. Sikap toleran, mampu menemukan jalan keluar dan problem solving yang pantas dan mengangkat martabat dan harga diri dalam berbagai bidang kehidupan.
























BAB III
PENUTUP

          3.1. KESIMPULAN
                                                                                                   
1.  Sikap dalam beragama begitu penting untuk menentukan akan bagaimana perilaku kita dalam  masyarakat, khususnya dalam bidang beragama. Akan bersikap eksklusivisme, inklusivisme, pluralisme/paralelisme, eklektivisme, atau universalisme. Semua itu tergantung kepada pribadi kita masing-masing.
2.  Etika dalam beragama perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari karena dengan menerapkan hal tersebut maka nilai dan kualitas kita dalam beragama akan menjadi lebih baik.
3.  Toleransi dalam beragama merupakan landasan utama untuk menjaga keharmonisan antar umat beragama supaya tidak terjadi perpecahan antar pemeluk agama (seperti apa yang sudah di jelaskan dalam Al-Qur’an yaitu Q.S. Al-Imran: 103)


           3.2. Saran
Penerapan teori sikap, etika, dan toleransi beragama harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mengingat betapa pentingnya tiga hal tersebut dalam kehidupan beragama yang mempunyai manfaat untuk menjaga perdamaian umat beragama.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menciptakan pemilihihan kepemimpinan yang baik,dan semoga makalah ini memberikan dorongan, semangat, bahkan pemikiran para pembaca, dengan makalah ini menjadi pedoman kaidah yang baik.
                  Demikianlah penjelasan tentang  teori sikap, etika, dan toleransi beragama bila kiranya ada salah dalam penulisan kata-kata kami mohon maaf, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar